Senin, 10 Desember 2012

PROSTITUSI DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar belakang
Hampir di setiap media massa baik koran, majalah, dan televisi memberikan gambaran yang nyata tentang kehidupan masyarakat khususnya tentang pelacuran atau prostitusi dengan segala permasalahannya. Berbagai tindakan dan langkah-langkah strategis telah diambil pemerintah dalam menangani masalah ini, baik dengan melakukan tindakan persuatif melalui lembaga-lembaga sosial sampai menggunakan tindakan represif berupa penindakan bagi mereka yang bergelut dalam bidang pelacuran tersebut. Tetapi kenyataan yang dihadapi adalah pelacuran tidak dapat dihilangkan melainkan memiliki kecenderungan untuk semakin meningkat dari waktu ke waktu. Permasalahan lebih menjadi rumit lagi tatkala pelacuran dianggap sebagai komoditas ekonomi (walaupun dilarang UU) yang dapat mendatangkan keuntungan finansial yang sangat menggiurkan bagi para pebisnis. Pelacuran telah diubah dan berubah menjadi bagian dari bisnis yang dikembangkan terus-menerus sebagai komoditas ekonomi yang paling menguntungkan, mengingat pelacuran merupakan komoditas yang tidak akan habis terpakai.
Prostitusi atau pelacuran merupakan penyakit masyarakat yang semakin marak sekarang ini dan mempunyai sejarah panjang. Namun pada jaman sekarang, prostitusi oleh masyarakat Indonesia dianggap menjadi sesuatu yang biasa dan hampir ada disetiap daerah, tidak hanya di kota – kota besar namun mencakup keseluruh daerah terpencil sekalipun.
Norma-norma sosial jelas mengharamkan keberadaan prostitusi, bahkan sudah ada UU mengenai praktek prostitusi yang ditinjau dari segi Yuridis yang terdapat dalam KUHP yaitu mereka yang menyediakan sarana tempat persetubuhan (pasal 296 KUHP), mereka yang mencarikan pelanggan bagi pelacur (pasal 506 KUHP), dan mereka yang menjual perempuan dan laki-laki di bawah umur untuk dijadikan pelacur (pasal 297 KUHP).
Dunia kesehatan juga menunjukkan dan memperingatkan bahaya penyakit kelamin yang mengerikan seperti HIV / AIDS akibat adanya pelacuran di tengah masyarakat. Meski demikian, perbuatan prostitusi masih ada, bahkan terorganisir secara profesional dan rapi, Tempat-tempat prostitusi di sediakan, di lindungi oleh hukum bahkan mendapatkan fasilitas-fasilitas tertentu.
Untuk itu, maka sudah seharusnya pemerintah lebih serius dalam menangani permasalahan prostitusi yang menjadi penyakit masyarakat ini. Para anggota legislatif yang berwenang membuat Undang-Undang seharusnya bisa lebih peka terhadap gejala sosial yang terjadi di masyarakat, sehingga mereka dapat membuat produk hukum yang dapat langsung menyentuh masyarakat dan efektif tentunya, bukan produk hukum yang mewakili kepentingan sekelompok orang, yang dalam pengaplikasiannya kurang menyentuh rasa keadilan.

B.     Permasalahan
Bagaimana kehidupan prostitusi ditinjau dari segi sosiologi hukum serta bagaimana tindakan pemerintah untuk mengatasinya.
C. Tujuan
supaya pemerintah bisa lebih peka terhadap gejala sosial yang terjadi di masyarakat, khususnya dalam memberantas praktek prostitusi. Agar para dewan anggota lembaga legislatif bisa membuat produk hukum yang efektif, berkualitas, dan bisa menyentuh rasa keadilan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN
PROSTITUSI DITINJAU DARI SEGI SOSIOLOGI HUKUM

A. Keberadaan tempat prostitusi, siapa yang salah?
Prostitusi diartikan sebagai pelacur atau penjual jasa seksual atau disebut juga dengan pekerja seks komersial. Menurut istilah, prostitusi di artikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.
Sampai sekarang prostitusi belum bisa dihentikan secara merata oleh pemerintah, malah bahkan pemerintah seolah-olah melegalkan praktek ini.  Prostitusi seperti sudah mendarah daging dan sulit untuk diputus dan dilepaskan dari para pelaku. Salah satu cara hanya dengan menekan laju praktek-praktek yang berbau prostitusi. Pemerintah harus aktif dalam upaya memberantas prostitusi, bukan hanya membuat Undang-Undang yang melarang prostitusi tapi dalam praktek masih banyak praktek prostitusi yang dibiarkan, atau seolah-olah dilegalkan, dan pura-pura tidak tahu. Sikap seperti inilah yang kemudian akan menjadikan hukum itu seperti bias, atau hanya hiasan pelengkap saja.
Berkali-kali dosen saya bapak Yesmil Anwar selalu mengatakan bahwa hukum di Indonesia itu sekarang jika diibaratkan sebagai seorang manusia, maka dia adalah manusia yang kehilangan jati dirinya, yang lupa akan jati dirinya sendiri, menjadi terasing pada dirinya sendiri. Ia tidak menyadari apa yang menjadi hakekat dan tujuan hidupnya, maka kurang lebih seperti itulah hukum di Indonesia sekarang ini. Bagaimana bisa hukum itu memberi rasa keadilan & bagaimana bisa hukum itu berjalan efektif jika dalam proses pembuatan produk hukum itu sendiri, banyak sekali kepentingan-kepentingan yang memboncenginya atau bahkan ada istilah UU pesanan.
Pemerintah daerah melegalkan tempat-tempat prostitusi untuk menaikkan pendapatan daerah dimana secara tidak langsung pendapatan asli daerah menjadi bertambah dan disisi lain sangat menguntungkan Pemda. Seperti halnya tempat lokalisasi yang terdapat disetiap daerah wisata. Pemda setempat tidak melarang para pelaku seks komersil untuk beraktifitas dan menjalankan pekerjaannya sebagai pelacur ditempat tersebut. Bahkan diberikan tempat khusus dan syarat-syarat tertentu untuk dapat masuk ke area tersebut, sehingga tidak sembarang orang untuk dapat masuk ke tempat itu. Jadi kalau saja mencari kambing hitam atas merajalelanya praktek prostitusi, maka siapa yang bisa disalahkan? Apakah Hukumnya, ataukah aparat penegak hukumnya, atau memang masyaraktnya yang tidak sadar hukum.
Seperti yang selalu dikemukakan oleh dosen saya bapak Yesmil Anwar yang menjelaskan  akan unsur-unsur yang mempengaruhi penegakan hukum, yang beliau kutip dari soerjono soekanto, bahwa ada 5 (lima) unsur yang mempengaruhi jalannya penegakan hukum, yaitu:
1.    Undang-Undang.
2.    Penegak Hukumnya,
3.    Sarana –prasarana.
4.    Masyarakat.
5.    Sosial & budaya hukum.

Dalam hal ini, bagaimana peran pemerintah pusat dalam menanggulangi dan menutup tempat lokalisasi disetiap daerah melihat sebagian besar pendapatan daerah mengucur dari hasil tempat lokalisasi tersebut. Bukan berarti menyalahkan pemerintah, namun seakan-akan pemerintah pusat pun melegalkan tindakan pelacuran itu, seperti tutup mata dengan praktek prostitusi yang jelas-jelas semakin merajalela. 

B. Prostitusi ditinjau dari Sosiologi hukum
Secara nalar sangat sulit untuk dibayangkan ada orang yang ingin hidup untuk menjadi seorang pelacur. Meski ada sebab-sebab lain yang mendorong seseorang itu untuk melacur, namun perbuatannya itu sangatlah tidak rasional. Kebanyakan alasan mereka para pelaku prostitusi hanya ingin mendapat uang banyak dengan mudah dan dalam waktu yang singkat, ada juga karena dari keluarga broken home, keluarga berada namun kurang kasih sayang dan yang paling parah yaitu alasan karena hobi yang ia jalankan. Jadi tidak hanya kepuasaan batin saja, melainkan kepuasaan lahir dan kenikmatan sementara yang ia dapatkan dan rasakan.
Hal ini merupakan PR bagi bangsa kita untuk mencari sebab-sebab yang merongrong seseorang itu untuk berbuat melacur. Sebab-sebab terjadinya pelacuran haruslah dilihat dan dicermati dari faktor-faktor endogen (dari dalam) dan eksogen (dari luar) serta banyak sekali alasan-alasan mengapa wanita dan gadis-gadis bahkan janda-janda memasuki pekerjaan kotor dan hina ini, akan tetapi alasan ekonomi dan psikologi lah yang paling menonjol dari semua alasan yang ada.
Dalam suatu masyarakat ada perbuatan yang ditinjau dari sudut pendirian perseorangan diperbolehkan benar-benar, sungguhpun dapat merugikan persekutuan. Hak mogok pada satu bangsa merupakan hal wajar, namun hal tersebut dapat dirasakan sebagai pelanggaran di bangsa yang lain karena dalam kewajiban kerja hal tersebut merugikan persekutuan. Contoh tersebut menggambarkan bahwa sosiologi tentang kesadaran hukum harus berhubungan rapat dengan teori tentang kejahatan sebagai peristiwa sosial, untuk dapat menentukan pendapat terhadap peristiwa kejahatan yang demikian peliknya itu sebagai kenyataan sosial. [1]
Kewajiban ilmu jiwa social yaitu untuk memberikan penjelasan tentang fungsi pengikat kecenderungan social. Keanehan kecenderungan social yaitu perasaan yang egosentris lebih banyak tergantung dari rekan – rekan social daripada yang dapat diduga semula. Sebagai contoh, rasa harga diri, yang tidak hanya dikenal oleh dorongan untuk menjadi berharga, tetapi untuk menampakkan dirinya berharga didepan orang lain.
Para pelaku prostitusi telah hilang rasa harga dirinya. Mereka hanya dapat dinilai dengan uang dan didepan orang lain tidak menunjukkan rasa yang sekiranya tidak dapat dinilai dengan uang. Secara sosiologi, prostitusi merupakan perbuatan amoral yang terdapat dalam masyarakat. Para pelakunya tidak hanya dari kalangan remaja, anak dibawah umur melainkan dari kalangan ibu – ibu rumah tanggapun ada. Hanya demi untuk mendapat sesuap nasi dan kesenangan sesaat mereka telah mengorbankan kehormatan, harga diri, derajat dan martabatnya didepan laki-laki hidung belang.
Kehidupan para pelaku prostitusi sangatlah primitive. Dilihat dari segi sosiologinya, mereka dipandang rendah oleh masyarakat sekitar, di cemooh, dihina, di usir dari tempat tinggalnya, dan lain – lain sebagainya. Mereka seakan – akan sebagai makhluk yang tidak bermoral dan meresahkan warga sekitar serta mencemarkan nama baik daerah tempat berasal mereka.
Dilihat dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi. Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita. Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja. Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya. Dari aspek kamtibmas praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan kriminal  Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan.
Permasalahan Prostitusi tidak ubahnya sama dengan manusia pada umumnya, secara garis besar prostitusi tentunya juga mempunyai suatu makna hidup. Sama halnya dengan manusia atau individu lainnya. Proses penemuan makna hidup bukanlah merupakan suatu perjalanan yang mudah bagi seorang PSK, perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan dalam hidup mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta sikap yang bagaimana yang diberikan terhadap ketentuan atau nasib yang bisa mereka rubah, yang kesemuanya itu tidak bisa lepas dari hal-hal apa saja yang diinginkan selama menjalani kehidupan, serta kendala apa saja yang dihadapi oleh mereka dalam mencapai makna hidup.
Salah satu faktor yang mempengaruhi sosiologi hukum adalah bahwa perbedaan hukum dengan kebiasaan terletak pada unsur kekuasaan resmi, yang dapat memaksakan berlakunya hukum tersebut. Selain daripada itu, hingga kini ada kecenderungan kuat dalam peneterapan hukum, untuk mempertahankan prinsip dan pola yang telah ada dalam sistem hukum. Dalam hal ini tidak dapat dikatakan bahwa sosiolologi nerada diatas segala-galanya, karena apa yang telah dilakukan oleh para ahli sosiologi untuk memahami hukum secara realistik tetap tidak dapat menutupi kegagalan mereka untuk dapat menjelaskan ciri khas hukum. Yang patut dicatat bahwa realitas hukum terletak dalam realitas sosial.
Dalam menguraiakan teori tentang masyarakat Durkheim menaruh perhatian yang besar terhadap kaedah hukum yang dihubungkannya sebagai jenis solidaritas dalam masyarakat, hukum dirumuskan sebagai kaedah yang bersanksi dimana berat ringannya tergantung pada (1) sifat pelanggaran, (2) anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya perilaku tertentu, (3) peranan sanksi tersebut dalam masyarakat. [2]

C. Upaya Pemerintah Dalam Memberantas Prostitusi
Prostitusi bukan hanya perkara jual-beli jasa seks, tetapi juga perdagangan wanita yang dijadikan budak seks. Dengan disahkannya Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), diharapkan penanganan terhadap terjadinya perdagangan orang akan semakin membaik. Pemerintah telah berusaha dengan berbagai cara untuk menangani dampak dari masalah yang ditimbulkan oleh bisnis pelacuran tersebut khususnya perdagangan orang (trafficking), baik melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan, seminar, pelatihan-pelatihan kerja dan yang terakhir adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang ‘’Pemberantasan Perdagangan Orang’’ .
Bisnis pelacuran semakin modern, bahkan jual-beli jasa seks kini juga hadir dalam dunia maya, yang mana pelakunya sangat sulit untuk diselidiki keberadaannya mengingat permainan yang dijalankan sangat rapi. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, namun UU ITE ini tidak bisa menghalau bisnis seks melalui internet, namun setidaknya kita telah punya aturan yang melarang hal tersebut, walaupun dalam pelaksanaannya memang tidak seperti yang diharapkan.
Selain daripada itu terdapat sanksi yang tujuan utamanya adalah pemulihan keadaan (seperti keadaan sebelum terjadinya pelanggaran terhadap kaedah-kaedah yang mungkin menyebabkan kegoncangan dalam masyarakat. Kaedah dengan sanksi semacam itu merupakan kaedah hukum restitutif dengan pengurangan unsur pidana yang terdapat di dalamnya. Kaedah hukum tersebut kemudian dikaitkan dengna bentuk solidaritas yang menjadi ciri masyarakat tertentu, oleh karena itu jenis kaedah hukum merupakan akibat dari bentuk solidaritas tertentu, antara lain:
1.        Solidaritas mekanis yang terutama terdapat pada masyarakat sederhana yang relatif masih homogin struktur sosial dan kebudayaannya. Dalam bentuk ini warga masyarakat tergantung pada kelompoknya dan keutuhan masyarakatnya terjamin oleh hubungan antar manusia karena adanya tujuan bersama.
2.        Solidaritas organik yang ditandai antara lain adanya pembagian kerja dalam masyarakat yang biasanya dijumpai pada masyarkat yang komleks dan heterogin struktur sosial dan kebudayaannya. Dalam hal ini pengembalian kedudukan seseorang yang dirugikan merupakan hal yang diprioritaskan. [3]
Dalam hal ini tujuan utama dari sosiologi hukum adalah untuk menyajikan sebanyak mungkin kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku secara efisien. [4]
Dalam suatu masyarakat terdapat sebuah gejala sosial yang ruang lingkup nya mencakup antara lain:
A.   Struktur sosial yang merupakan keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu
a.    Kelompok sosial
b.    Kebudayaan
c.    Lembaga sosial
d.    Stratifikasi
e.    Kekuasaan dan wewenang
B.    Proses sosial yaitu pengaruh timbal balik antara pelbagai bidang kehidupan yang mencakup:
a.    Interaksi sosial,
b.    Perubahan sosial,
c.    Masalah sosial. [5]

Perkembangan dari gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat berangkat dari sebuah hukum kebiasaan yang disebut dengan hukum adat. Dalam apabila hukum adat diidentikkan dengan hukum kebiasaan maka identifikasinya terutama dilakukan secara empiris atau dengan metode induktif. Andaikata titik tolaknya adalah hukum ada yang tercatat maka pengujiannyapun dilakukan secara empiris. Van Vollenhoven dan Ter Haar secara langsung maupun tidak, mengakui hal tersebut. Pendeknya tentang teori hukum adat tersebut dapat ditonjolkkan hal sebagai berikut:
1.    Pengembangan ilmu hukum adat dan penelitian hukum adat (baik yang normatif maupun empiris) membuka jalan bagi tumbuhnya atau berkembangknya teori hukum yang bersifat sosiologi.
2.    Studi hukum Adat merupakan suatu jembatan yang menghubungkan pendekatan yuridis murni dengna pendekatan sosiologi murni. Secara analogis adalah hubungan antara ilmu hukum pidana dengan kriminologi, yaitu ilmu penitentier.
3.    Hukum adat mengawali pendekatan kemampuan ke arah interaksi sosial terutama hubungan hukum yang menjadi mengendalikan sosial dan pembaharuan.[6]
Dalam hal ini peran dari sosiologi hukum adalah untuk memahami hukum dalam konteks sosial, menganalisa terhadap efektifikasi hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial maupun sebagai sarana untuk merubah masyarakat, seperti yang sering bapak YesmiL Anwar sampaikan bahwa sosiologi hukum itu mempelajari hukum dalam keefektifannya, atau Law in action dan mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat. Intinya, mempelajari sosiologi hukum itu ada tiga hal penting, yaitu memahami hukum dalam konteks sosial, menganalisis efektifitas hukum serta mengevaluasi kekuatan pengaruh struktur sosial dan proses sosial dalam membentuk aturan hukum.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan alasan apapun praktek pelacuran atau prostitusi tidak bisa dibenarkan, karena bertentangan dengan Undang-Undang dan juga bertentangan dengarn norma dan kaidah yang ada dalam masyarakat. Secara moral dan keagamaan memperjual belikan organ tubuh kita sebagian ataupun seluruhnya sudah merupakan hal yang dilarang. Desakan ekonomi atau sulitnya mencari pekerjaan bukanlah alasan pembenar sehingga prostitusi dapat dimaklumi yang akhirnya seolah-olah seperti dilegalkan. Apabila di lihat dari sudut pandang sosiologi, bisnis prostitusi merupakan sebuah bisnis yang terjadi karena suatu dorongan akan kebutuhan pokok dan kurangnya kerapatan antara kesadaran hukum dengan teori tentang kejahatan sebagai peristiwa sosial.
B. Saran
Penulis menyarankan supaya pemerintah bisa lebih peka terhadap gejala sosial yang terjadi di masyarakat, sehingga apabila terjadi sesuatu yang menyimpang, akan cepat ditangani, tidak menunggu berlarut-larut, masalah sudah semakin berkembang & membesar, lalu baru diatasi  setelah semuanya menjadi semakin kompleks. Perlunya aparat penegak hukum yang berhati bersih yang memang tujuannya berjuang untuk menciptakan hukum yang efektif diterapkan, bukan aparat penegak hukum yang mengharapkan upeti dari orang-orang tertentu yang berkepentingan sehingga bisa mempengaruhi isi dari produk hukum yang dibuat. Sudah saatnya SDM (sumber daya manusia) para aparat penegak hukum ditingkatkan, agar kualitas produk hukum yang dibuat pun bisa lebih efektif dan menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat.


       [1] Bouman, P.J., DR, Sosiologi Pengertian dan Masalah, 1976, PT. Kanikus, Yogyakarta, halaman111 - 112
       [2] Soekanto, Soerjono, Prof. DR. SH. MA., Mengenal Sosiologi Hukum, 1989, PT Citra Aditya Bakti,  Bandung, halaman 19
       [3] Soekanto, Soerjono, Prof. DR. SH. MA., Mengenal Sosiologi Hukum, 1989, PT Citra Aditya Bakti,  Bandung, halaman 21
       [4] Soekanto, Soerjono, Prof. DR. SH. MA., Mengenal Sosiologi Hukum, 1989, PT Citra Aditya Bakti,  Bandung, halaman 23
       [5] Soekanto, Soerjono, Prof. DR. SH. MA., Mengenal Sosiologi Hukum, 1989, PT Citra Aditya Bakti,  Bandung, halaman 34-35
       [6] Soekanto, Soerjono, Prof. DR. SH. MA., Mengenal Sosiologi Hukum, 1989, PT Citra Aditya Bakti,  Bandung, halaman 40-42