Selasa, 24 Mei 2011

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Menanggapi kajian mengenai masih sulit diterapkannya UU TPPU, ada beberapa hal yang saya setuju, aturan perundangan tersebut memang tetap akan sulit membuktikan adanya dugaan pencucian uang terhadap sebuah transaksi keuangan yang dilakukan masyarakat. Tetapi dalam UU TPPU ini diterapkan metode pemuktian terbalik.
Metode pembuktian terbalik bisa diterapkan dalam persidangan kasus tindak pidana pencucian uang. Caranya dengan melalui penetapan hakim atau permintaan dari pihak jaksa kepada hakim untuk melaksanakan metode tersebut.
Penerapan pembuktian terbalik dalam persidangan bisa dilakukan dengan didasarkan pada pasal 77 dan pasal 78 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Dalam pasal tersebut diatur ketentuan bahwa terdakwa harus mampu membuktikan asal-usul dana yang dimiliki, namun melalui penetapan hakim.
Di pasal 77 dan 78 itu dikatakan bahwa terdakwa harus bisa membuktikan tentang asal usul dana yang dimiliki, sedangkan pasal 78 mekanismenya adalah hakim yang memerintahkan terdakwa untuk membuktikan itu. Penerapan pembuktian terbalik ini tidak bisa diterapkan dalam kasus korupsi murni, Melainkan pada kasus korupsi yang memiliki unsur pidana pencucian uang. Jadi ini terkait dengan masalah tindak pidana pencucian uang,  Kalau semata-mata hanya  masalah korupsi, kita tidak bisa menerapkan metode pembuktian terbalik, kita baru bisa menerapkan pembuktian terbalik apabila dakwaan nya adalah pencucian uang.
Mengenai kejahatan asal, dalam kajian tersebut dikatakan bahwa kejahatan asal itu sangat penting dibuktikan, artinya harus didapati dulu adanya kejahatan asal yang hasilnya dicuci. tetapi menurut Pasal 69 UU N0 8 Tahun  2010 Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan, di sidang pengadilan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Oleh karena itu kejahatan asal akan diselidiki kepada seseorang yang sudah menjadi terpidana.
Menanggapi pernyataan “Penerapan UU No.8 Tahun 2010 berbenturan dengan rasa nyaman masyarakat dalam bertransaksi perbankan yang bisa memojokkan industri perbankan”.
Dalam UU No.8 Tahun 2010 ada perluasan pihak pelapor, yaitu dulu hanya PPATK, tetapi sekarang para penyedia jasa keuangan (PJK) yang diantaranya adalah Bank wajib melaporkan jika ada transaksi yang mencurigakan, PJK juga wajib melaporkan kepada PPATK transfer dana kedalam dan keluar wilayah Indonesia atau yang dikenal dengan IFTI (International Fund Transfer Instruction). Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh PJK, dimana PJK wajib menyampaikan kepada PPATK laporan Transaksi yang dilakukan oleh Pengguan Jasa yang paling sedikit atau setara dengan Rp.500.000.000,.
Selain itu juga diberikan kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi, dimana PJK dapat melakukan penundaan terhadap transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja dalam hal Pengguna Jasa melakukan trnasaksi yang patut diduga menggunakan harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana, memiliki rekening untuk menampung harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana, atau diketahui dan atau patut diduga menggunakan dokumen palsu.
Saya kurang setuju dengan statement bahwa “Penerapan UU No.8 Tahun 2010 berbenturan dengan rasa nyaman masyarakat dalam bertransaksi perbankan yang bisa memojokkan industri perbankan”. Walaupun memang banyak ketentuan-ketentuan dalam UU TPPU ini yang mungkin akan membuat tidak nyaman, tetapi kan ini demi mencegah terjadinya pencucian uang, selain itu juga jika tidak merasa bersalah dan tidak ada masalah dengan uang tersebut, dan jika dokumen yang kita gunakan dalam bertransaksi semuanya adalah dokumen asli dan uang yang tidak berasal dari hasil tindak pidana kita tidak perlu merasa tidak nyaman,. Masyarakat Indonesia seharusnya lebih cerdas menanggapi peraturan atau ketentuan yang berlaku, jangan hanya mementingkan rasa nyaman atau tidak nyaman, buat apa nyaman kalau tidak aman? Peraturan ini dibuat demi kebaikan bangsa kita ke depannya.
Mengenai pasal 98 dan 99 UU No.8 Tahun 2010, dalam pasal 98 dinyatakan bahwa “Peraturan Pelaksanaan UU No.15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No.25 tahun 2003 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini”.
Sedangkan dalam pasal 99 dinyatakan bahwa “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UU No.15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No.25 tahun 2003 (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4324) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Jadi intinya adalah pada pasal 98 menyatakan bahwa peraturan pelaksananya tetap berlaku, sedangkan pada pasal 99 intinya bahwa , UU No.15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No.25 tahun 2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar