Senin, 23 Mei 2011

MACAM-MACAM EKSEKUSI DAN PROSES EKSEKUSI DALAM HUKUM ACARA PERDATA

MACAM-MACAM EKSEKUSI DAN PROSES EKSEKUSI
Cara melaksanakan putusan Hakim diatur dalam pasal 195 sampai dengan pasal 208 H.I.R.
Pada asasnya suatu putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti yang dapat dijalankan. Pengecualiannya yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan pasal 180 H.I.R. perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan pasti harus dijalankan. Karena perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melaksanakan suatu perbuatan.
Cara melaksanakan putusan hakim diatur dalam pasal 195 sampai dengan pasal 208 H.I.R. Putusan dilaksanakan di bawah pimpinan ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula memutus perkara tersebut. Pelaksanaan dimulai dengan menegur pihak yang kalah untuk dalam delapan hari memenuhi putusan tersebut dengan suka rela. Jika pihak yang dikalahkan itu tidak mau melaksanakan putusan itu dengan suka rela, maka baru pelaksanaan yang sesungguhnya di mulai.
Ada tiga macam eksekusi yang dikenal oleh Hukum Acara Perdata:
1.      Eksekusi yang diatur dalam pasal 196 H.I.R dan seterusnya, dimana seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
Pelaksanaan melalui penjualan lelang terhadap berang-barang milik pihak yang kalah perkara, sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim tersebut ditambah biaya-biaya pengeluaran untuk pelaksanaan eksekusi tersebut. Dalam praktik dengan berdasarkan ketentuan pasal 197 ayat (1) H.I.R/pasal 208 RBg, maka barang-barang pihak yang kalah diletakkan sita eksekusi (executoir beslag) terlebih dahulu sebelum penjualan lelang dilakukan, kemudian proses eksekusi dimulai dari barang-barang bergerak dan jika barang-barang bergerak tidak ada atau tidak mencukupi barulah dilakukan terhadap barang-barang yang tidak bergerak (barang tetap).
2.      Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 H.I.R dimana seseorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan.
Apabila seseorang dihukum melakukan suatu perbuatan tersebut dalam waktu yang ditentukan maka pihak yang dimenangkan dalam putusan itu dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri agar perbuatan yang sedianya dilakukan/dilaksanakan oleh pihak yang kalah perkara dinilai dengan sejumlah uang. Dengan lain perkataan pelaksanaan perbuatan itu dilakukan oleh sejumlah uang.
Menurut pasal 225 H.I.R yang dapat dilakukan adalah menilai perbuatan yang harus dilakukan oleh tergugat dalam jumlah uang. Tergugat lalu dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai pengganti dari pada pekerjaan yang harus ia lakukan berdasar putusan hakim yang menilai besarnya penggantian ini adalah Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dengan demikian, maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain perkataan, putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perlu di catat, bahwa bukan putusan Pengadilan Negeri saja, akan tetapi putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung pun dapat diperlakukan demikian, tegasnya putusan yang sedang dilaksanakan itu yang lebih menarik perhatian adalah bahwa perubahan putusan ini dilakukan atas kebijaksanaan Ketua Pengadilan Negeri yang sedang memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak dalam sidang terbuka.
3.      Eksekusi Riil, yang diatur dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam H.I.R.
Jika putusan pengadilan yang memerintahkan pengkosongan barang tidak bergerak tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka Ketua akan memerintahkan dengan surat kepada Jurusita supaya dengan bantuan alat kekuasaan negara, barang tidak bergerak itu dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang kepunyaannya.
Dengan demikian dapat dikatakan lebih detail berdasarkan ketentuan pasal 1033 Rv bahwa yang harus meninggalkan barang tidak bergerak yang dikosongkan itu adalah pihak yang dikalahkan beserta sanak saudaranya dan bukan pihak penyewa rumah oleh karena dalam sebuah rumah disita dan atasnya telah diletakkan perjanjian sewa menyewa sebelum rumah itu disita maka pihak penyewa dilindungi oleh asas koop breekst geen huur yakni asas jual beli tidak menghapuskan hubungan sewa menyewa sebagaimana ditentukan pasal 1576 KUH Perdata.
Dalam praktik maka ketiga macam eksekusi ini kerap dilaksanakan. Pada dasarnya suatu eksekusi itu dimulai adanya permohonan eksekusi dengan pemohon eksekusi membayar biaya eksekusi kepada petugas urusan kepaniteraan perdata pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Kemudian prosedural administrasi berikutnya akan diregister pada buku permohonan eksekusi (KI-A.5), Buku Induk Keuangan Biaya Eksekusi (KI-A.8) dan lalu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna mendapatkan fiat eksekusi. Setelah Ketua Pengadilan Negeri mempelajari permohonan itu dan yakin tidak bertentangan dengan undang-undang maka Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan "penetapan" berisi perintah agar Jurusita Pengadilan memanggil pihak lawan yang dikalahkan atau kedua belah pihak berperkara untuk diberi teguran (aanmaning) supaya pihak lawan yang dikalahkan melaksanakan putusan hakim. Apabila pada waktu "aanmaning" itu para pihak hadir maka kepada pihak lawan yang dikalahkan diberi waktu 8 (delapan) hari sejak tanggal teguran tersebut memenuhi isi putusan. Setelah waktu tersebut terlampaui dan pihak termihon eksekusi belum memenuhi amar putusan hakim maka dengan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri selanjutnya memerintahkan Panitera/Jurusita dengan disertai dua orang saksi yang dipandang mampu dan cakap untuk melaksanakan sita eksekusi terhadap barang-barang/tanah milik termohon eksekusi dan semua ini dibuat pula berita acaranya.

2 komentar:

  1. sy Raja dari Karawang, salam kenal...
    btw, bagus juga isinya. izin copas yaaa.... lumayan buat bahan tambahan pengetahuan.
    thanks.....

    BalasHapus
  2. TKS KAK,.... PENGETAHUAN KITA JADI TAMBAH LAGI...

    BalasHapus