Minggu, 09 Oktober 2011

PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA

A.    Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :
1.      Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2.      UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3.      UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4.      PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5.      Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974. Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
B.     Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum. Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.

C.    Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 (terlampir) dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung. Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan

Selasa, 24 Mei 2011

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Menanggapi kajian mengenai masih sulit diterapkannya UU TPPU, ada beberapa hal yang saya setuju, aturan perundangan tersebut memang tetap akan sulit membuktikan adanya dugaan pencucian uang terhadap sebuah transaksi keuangan yang dilakukan masyarakat. Tetapi dalam UU TPPU ini diterapkan metode pemuktian terbalik.
Metode pembuktian terbalik bisa diterapkan dalam persidangan kasus tindak pidana pencucian uang. Caranya dengan melalui penetapan hakim atau permintaan dari pihak jaksa kepada hakim untuk melaksanakan metode tersebut.
Penerapan pembuktian terbalik dalam persidangan bisa dilakukan dengan didasarkan pada pasal 77 dan pasal 78 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Dalam pasal tersebut diatur ketentuan bahwa terdakwa harus mampu membuktikan asal-usul dana yang dimiliki, namun melalui penetapan hakim.
Di pasal 77 dan 78 itu dikatakan bahwa terdakwa harus bisa membuktikan tentang asal usul dana yang dimiliki, sedangkan pasal 78 mekanismenya adalah hakim yang memerintahkan terdakwa untuk membuktikan itu. Penerapan pembuktian terbalik ini tidak bisa diterapkan dalam kasus korupsi murni, Melainkan pada kasus korupsi yang memiliki unsur pidana pencucian uang. Jadi ini terkait dengan masalah tindak pidana pencucian uang,  Kalau semata-mata hanya  masalah korupsi, kita tidak bisa menerapkan metode pembuktian terbalik, kita baru bisa menerapkan pembuktian terbalik apabila dakwaan nya adalah pencucian uang.
Mengenai kejahatan asal, dalam kajian tersebut dikatakan bahwa kejahatan asal itu sangat penting dibuktikan, artinya harus didapati dulu adanya kejahatan asal yang hasilnya dicuci. tetapi menurut Pasal 69 UU N0 8 Tahun  2010 Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan, di sidang pengadilan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Oleh karena itu kejahatan asal akan diselidiki kepada seseorang yang sudah menjadi terpidana.
Menanggapi pernyataan “Penerapan UU No.8 Tahun 2010 berbenturan dengan rasa nyaman masyarakat dalam bertransaksi perbankan yang bisa memojokkan industri perbankan”.
Dalam UU No.8 Tahun 2010 ada perluasan pihak pelapor, yaitu dulu hanya PPATK, tetapi sekarang para penyedia jasa keuangan (PJK) yang diantaranya adalah Bank wajib melaporkan jika ada transaksi yang mencurigakan, PJK juga wajib melaporkan kepada PPATK transfer dana kedalam dan keluar wilayah Indonesia atau yang dikenal dengan IFTI (International Fund Transfer Instruction). Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh PJK, dimana PJK wajib menyampaikan kepada PPATK laporan Transaksi yang dilakukan oleh Pengguan Jasa yang paling sedikit atau setara dengan Rp.500.000.000,.
Selain itu juga diberikan kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi, dimana PJK dapat melakukan penundaan terhadap transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja dalam hal Pengguna Jasa melakukan trnasaksi yang patut diduga menggunakan harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana, memiliki rekening untuk menampung harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana, atau diketahui dan atau patut diduga menggunakan dokumen palsu.
Saya kurang setuju dengan statement bahwa “Penerapan UU No.8 Tahun 2010 berbenturan dengan rasa nyaman masyarakat dalam bertransaksi perbankan yang bisa memojokkan industri perbankan”. Walaupun memang banyak ketentuan-ketentuan dalam UU TPPU ini yang mungkin akan membuat tidak nyaman, tetapi kan ini demi mencegah terjadinya pencucian uang, selain itu juga jika tidak merasa bersalah dan tidak ada masalah dengan uang tersebut, dan jika dokumen yang kita gunakan dalam bertransaksi semuanya adalah dokumen asli dan uang yang tidak berasal dari hasil tindak pidana kita tidak perlu merasa tidak nyaman,. Masyarakat Indonesia seharusnya lebih cerdas menanggapi peraturan atau ketentuan yang berlaku, jangan hanya mementingkan rasa nyaman atau tidak nyaman, buat apa nyaman kalau tidak aman? Peraturan ini dibuat demi kebaikan bangsa kita ke depannya.
Mengenai pasal 98 dan 99 UU No.8 Tahun 2010, dalam pasal 98 dinyatakan bahwa “Peraturan Pelaksanaan UU No.15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No.25 tahun 2003 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini”.
Sedangkan dalam pasal 99 dinyatakan bahwa “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UU No.15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No.25 tahun 2003 (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4324) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Jadi intinya adalah pada pasal 98 menyatakan bahwa peraturan pelaksananya tetap berlaku, sedangkan pada pasal 99 intinya bahwa , UU No.15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No.25 tahun 2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Senin, 23 Mei 2011

MACAM-MACAM EKSEKUSI DAN PROSES EKSEKUSI DALAM HUKUM ACARA PERDATA

MACAM-MACAM EKSEKUSI DAN PROSES EKSEKUSI
Cara melaksanakan putusan Hakim diatur dalam pasal 195 sampai dengan pasal 208 H.I.R.
Pada asasnya suatu putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti yang dapat dijalankan. Pengecualiannya yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan pasal 180 H.I.R. perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan pasti harus dijalankan. Karena perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melaksanakan suatu perbuatan.
Cara melaksanakan putusan hakim diatur dalam pasal 195 sampai dengan pasal 208 H.I.R. Putusan dilaksanakan di bawah pimpinan ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula memutus perkara tersebut. Pelaksanaan dimulai dengan menegur pihak yang kalah untuk dalam delapan hari memenuhi putusan tersebut dengan suka rela. Jika pihak yang dikalahkan itu tidak mau melaksanakan putusan itu dengan suka rela, maka baru pelaksanaan yang sesungguhnya di mulai.
Ada tiga macam eksekusi yang dikenal oleh Hukum Acara Perdata:
1.      Eksekusi yang diatur dalam pasal 196 H.I.R dan seterusnya, dimana seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
Pelaksanaan melalui penjualan lelang terhadap berang-barang milik pihak yang kalah perkara, sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim tersebut ditambah biaya-biaya pengeluaran untuk pelaksanaan eksekusi tersebut. Dalam praktik dengan berdasarkan ketentuan pasal 197 ayat (1) H.I.R/pasal 208 RBg, maka barang-barang pihak yang kalah diletakkan sita eksekusi (executoir beslag) terlebih dahulu sebelum penjualan lelang dilakukan, kemudian proses eksekusi dimulai dari barang-barang bergerak dan jika barang-barang bergerak tidak ada atau tidak mencukupi barulah dilakukan terhadap barang-barang yang tidak bergerak (barang tetap).
2.      Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 H.I.R dimana seseorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan.
Apabila seseorang dihukum melakukan suatu perbuatan tersebut dalam waktu yang ditentukan maka pihak yang dimenangkan dalam putusan itu dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri agar perbuatan yang sedianya dilakukan/dilaksanakan oleh pihak yang kalah perkara dinilai dengan sejumlah uang. Dengan lain perkataan pelaksanaan perbuatan itu dilakukan oleh sejumlah uang.
Menurut pasal 225 H.I.R yang dapat dilakukan adalah menilai perbuatan yang harus dilakukan oleh tergugat dalam jumlah uang. Tergugat lalu dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai pengganti dari pada pekerjaan yang harus ia lakukan berdasar putusan hakim yang menilai besarnya penggantian ini adalah Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dengan demikian, maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain perkataan, putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perlu di catat, bahwa bukan putusan Pengadilan Negeri saja, akan tetapi putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung pun dapat diperlakukan demikian, tegasnya putusan yang sedang dilaksanakan itu yang lebih menarik perhatian adalah bahwa perubahan putusan ini dilakukan atas kebijaksanaan Ketua Pengadilan Negeri yang sedang memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak dalam sidang terbuka.
3.      Eksekusi Riil, yang diatur dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam H.I.R.
Jika putusan pengadilan yang memerintahkan pengkosongan barang tidak bergerak tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka Ketua akan memerintahkan dengan surat kepada Jurusita supaya dengan bantuan alat kekuasaan negara, barang tidak bergerak itu dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang kepunyaannya.
Dengan demikian dapat dikatakan lebih detail berdasarkan ketentuan pasal 1033 Rv bahwa yang harus meninggalkan barang tidak bergerak yang dikosongkan itu adalah pihak yang dikalahkan beserta sanak saudaranya dan bukan pihak penyewa rumah oleh karena dalam sebuah rumah disita dan atasnya telah diletakkan perjanjian sewa menyewa sebelum rumah itu disita maka pihak penyewa dilindungi oleh asas koop breekst geen huur yakni asas jual beli tidak menghapuskan hubungan sewa menyewa sebagaimana ditentukan pasal 1576 KUH Perdata.
Dalam praktik maka ketiga macam eksekusi ini kerap dilaksanakan. Pada dasarnya suatu eksekusi itu dimulai adanya permohonan eksekusi dengan pemohon eksekusi membayar biaya eksekusi kepada petugas urusan kepaniteraan perdata pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Kemudian prosedural administrasi berikutnya akan diregister pada buku permohonan eksekusi (KI-A.5), Buku Induk Keuangan Biaya Eksekusi (KI-A.8) dan lalu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna mendapatkan fiat eksekusi. Setelah Ketua Pengadilan Negeri mempelajari permohonan itu dan yakin tidak bertentangan dengan undang-undang maka Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan "penetapan" berisi perintah agar Jurusita Pengadilan memanggil pihak lawan yang dikalahkan atau kedua belah pihak berperkara untuk diberi teguran (aanmaning) supaya pihak lawan yang dikalahkan melaksanakan putusan hakim. Apabila pada waktu "aanmaning" itu para pihak hadir maka kepada pihak lawan yang dikalahkan diberi waktu 8 (delapan) hari sejak tanggal teguran tersebut memenuhi isi putusan. Setelah waktu tersebut terlampaui dan pihak termihon eksekusi belum memenuhi amar putusan hakim maka dengan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri selanjutnya memerintahkan Panitera/Jurusita dengan disertai dua orang saksi yang dipandang mampu dan cakap untuk melaksanakan sita eksekusi terhadap barang-barang/tanah milik termohon eksekusi dan semua ini dibuat pula berita acaranya.

indonesia kacau,, salah siapa??????????

sudah banyak hati yg tersakiti..
banyak jiwa yg terdzolimi..
banyak sudah air mata yang jatuh..
banyak perut kosong yang tak terisi..
banyak nyawa dipertaruhkan..

MAU DIBAWA KEMANA NEGERI INI........??????

budaya "malu" sudah hilang,
kata "maaf" sangat mahal..
budaya "saling-membantu" sudah hilang,
kata "terima kasih" makin jarang..

MAU JADI APA NEGERI INI...???

Para wakil rakyat berlomba-lomba mencari celah untuk bisa korupsi,
mempertebal dompet pribadi,
sibuk mencari harta haram untuk aset pribadi,
sementara diluaran sana, ada orang yang sehari makan, sehari tidak..


ADA APA SEBENARNYA DENGAN NEGERI INI...???????

aparat bertindak anarkis bak kesurupan, 
pejabat saling sikut demi memperebutkan jabatan,
sementara pengangguran merajalela yang karena tidak kuat menahan lapar, akhirnya melakukan tindakan kriminal demi mengisi perut kosong, nenek tua mencuri beberapa butir buah kakao, bapak-bapak yang kehausan di tengah sawah terpaksa mencuri semangka yang kebetulan ada disitu, mereka diproses di pengadilan, macam benar saja peradilan kita,, hah??
kok bisa ngurusin perkara2 sepele sprti itu, smntra koruptor yang nyuri duit rakyat milyaran, walaupun sudah dalam penjara tp masih bisa liburan ke bali, makau, masih bisa berkeliaran bebas menikmati duit haram hasil maling dari rakyat...

SALAH SIAPA SEBENARNYA,, SEHINGGA NEGERI KITA JADI KACAU SEPERTI INI...???

menyekolahkan anak di Kepolisian pake biaya yg selangit,
mau masuk aja, hrus ada duit "sekian",
supaya karir dikepolisian bisa mulus, suap sana, suap sini..
akhirnya yang terjadi apa??
setelah menjadi polisi, bukannya sibuk melayani dan mengayomi masyarakat,
malah sibuk mencari uang tambahan biar modal cepet balik,
modal?modal apa?? modal bekas sekolah kpolisian tentunya...
bgitupun yang terjadi dalam profesi pekerjaan lain,
semua butuh biaya mahal,
sekolah dokter mahal, sekolah hukum mahal,
sekarang tuh, sekolah apa sih yang tidak mahal??

calon wakil rakyat yang dipilih lewat pilkada,
supaya bisa menang, butuh uang banyak,
pinjam uang sana-sini, menggaet sponsor sana-sini, membayar orang buat jadi masa dan tim sukses agar bisa menang di PILKADA, dan stelah menang, apa yg terjadi??
sekali lagi, SIBUK CARI UANG BUAT BALIKIN MODAL,
modal apa?? ya modal bekas dia kampanye pilkada tentunya.



MENGAPA SEMUA INI TERJADI??WHY???


karena kesadaran masih kurang..
rasa ingin mengabdi tidak ada, yg ada hanya rasa untuk mencari uang..
jika pejabat tujuan nya adalah cari uang, bukan untuk mengabdi pada rakyat, maka celakalah negeri ini...


sudahlah, sekalipun saya teriak-teriak pun, tdk akan ada pengaruhnya sam sekali,
saya hanya rakyat kecil yang tidak punya pengaruh apa-apa,
tapi saya hanya seorang mahasiswi hukum, yang sedikitnya memahami kebobrokan sistem penegakkan hukum di negeri ini,
hukum kita tidak lah buruk, sebetulnya hukum kita sudah bagus, hanya penegak hukumnya saja yang tidak bagus,, 
hukum baik, tapi penegak hukum tidak baik, maka yang terjadi adalah seperti sekarang ini..

sudah saatnya kita bangkit, bangkit dari keterpurukan moral..
bangkit dari kegagalan pemikiran..
bangkit dari tidur panjang kebodohan..
pintarlah dalam berpikir wahai kawan,
jangan termakan berita di media  yang terkadang menyesatkan..
jangan mau terprovokasi oleh informasi-informasi yang belum tentu benar,
jangan mau diarahkan oleh pemberitaan,
kita harus independent dalam berpikir...
milikilah hati yang bersih dan otak yang sehat serta jiwa yang bijak,,
orang seperti itu yang diperlukan oleh bangsa kita,
kita perlu pemimpin negara yang mau bangun pagi dan shalat shubuh berjamaah bersama rakyat,
kita perlu pemimpin yang berani, yang tegas, yang tidak bisa disetir oleh negara manapun..
kita butuh sosok pemimpin yang disegani oleh dunia internasional..
kita perlu seorang khalifah yang mau dengan berani  membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah..
semoga, suatu saat kita mempunyai pemimpin seperti itu..
semoga ALLAH melindungi dan selalu menjaga Indonesiaku tercinta..
by. yan nurhidayah alfarez
in myroom, 23th may 2011, 8.38pm