BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Hampir
di setiap media massa baik koran, majalah, dan televisi memberikan gambaran
yang nyata tentang kehidupan masyarakat khususnya tentang pelacuran atau
prostitusi dengan segala permasalahannya. Berbagai tindakan dan langkah-langkah
strategis telah diambil pemerintah dalam menangani masalah ini, baik dengan
melakukan tindakan persuatif melalui lembaga-lembaga sosial sampai menggunakan
tindakan represif berupa penindakan bagi mereka yang bergelut dalam bidang
pelacuran tersebut. Tetapi kenyataan yang dihadapi adalah pelacuran tidak dapat
dihilangkan melainkan memiliki kecenderungan untuk semakin meningkat dari waktu
ke waktu. Permasalahan lebih menjadi rumit lagi tatkala pelacuran dianggap
sebagai komoditas ekonomi (walaupun dilarang UU) yang dapat mendatangkan
keuntungan finansial yang sangat menggiurkan bagi para pebisnis. Pelacuran
telah diubah dan berubah menjadi bagian dari bisnis yang dikembangkan
terus-menerus sebagai komoditas ekonomi yang paling menguntungkan, mengingat
pelacuran merupakan komoditas yang tidak akan habis terpakai.
Prostitusi atau pelacuran merupakan penyakit masyarakat yang
semakin marak sekarang ini dan mempunyai sejarah panjang. Namun pada jaman
sekarang, prostitusi oleh masyarakat Indonesia dianggap menjadi sesuatu yang
biasa dan hampir ada disetiap daerah, tidak hanya di kota – kota besar namun
mencakup keseluruh daerah terpencil sekalipun.
Norma-norma sosial jelas mengharamkan keberadaan prostitusi,
bahkan sudah ada UU mengenai praktek prostitusi yang ditinjau dari segi Yuridis
yang terdapat dalam KUHP yaitu mereka yang menyediakan sarana tempat
persetubuhan (pasal 296 KUHP), mereka yang mencarikan pelanggan bagi pelacur
(pasal 506 KUHP), dan mereka yang menjual perempuan dan laki-laki di bawah umur
untuk dijadikan pelacur (pasal 297 KUHP).
Dunia kesehatan juga menunjukkan dan memperingatkan bahaya
penyakit kelamin yang mengerikan seperti HIV / AIDS akibat adanya pelacuran di
tengah masyarakat. Meski demikian, perbuatan prostitusi
masih ada, bahkan terorganisir secara profesional dan rapi, Tempat-tempat prostitusi
di sediakan, di lindungi oleh hukum bahkan mendapatkan fasilitas-fasilitas
tertentu.
Untuk
itu, maka sudah seharusnya pemerintah lebih serius dalam menangani permasalahan
prostitusi yang menjadi penyakit masyarakat ini. Para anggota legislatif yang
berwenang membuat Undang-Undang seharusnya bisa lebih peka terhadap gejala
sosial yang terjadi di masyarakat, sehingga mereka dapat membuat produk hukum
yang dapat langsung menyentuh masyarakat dan efektif tentunya, bukan produk
hukum yang mewakili kepentingan sekelompok orang, yang dalam pengaplikasiannya
kurang menyentuh rasa keadilan.
B. Permasalahan
Bagaimana
kehidupan prostitusi ditinjau dari segi sosiologi hukum serta bagaimana tindakan pemerintah untuk mengatasinya.
C. Tujuan
supaya pemerintah bisa
lebih peka terhadap gejala sosial yang terjadi di masyarakat, khususnya dalam
memberantas praktek prostitusi. Agar para dewan anggota lembaga legislatif bisa
membuat produk hukum yang efektif, berkualitas, dan bisa menyentuh rasa
keadilan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
PROSTITUSI DITINJAU DARI SEGI SOSIOLOGI HUKUM
A. Keberadaan tempat prostitusi, siapa yang salah?
Prostitusi diartikan sebagai pelacur atau penjual jasa
seksual atau disebut juga dengan pekerja seks komersial. Menurut istilah,
prostitusi di artikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri
atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual
dengan mendapatkan upah sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.
Sampai sekarang prostitusi belum bisa dihentikan secara
merata oleh pemerintah, malah bahkan pemerintah seolah-olah melegalkan praktek
ini. Prostitusi seperti sudah mendarah
daging dan sulit untuk diputus dan dilepaskan dari para pelaku. Salah satu cara
hanya dengan menekan laju praktek-praktek yang berbau prostitusi. Pemerintah harus aktif dalam upaya memberantas prostitusi,
bukan hanya membuat Undang-Undang yang melarang prostitusi tapi dalam praktek
masih banyak praktek prostitusi yang dibiarkan, atau seolah-olah dilegalkan,
dan pura-pura tidak tahu. Sikap seperti inilah yang kemudian akan menjadikan
hukum itu seperti bias, atau hanya hiasan pelengkap saja.
Berkali-kali
dosen saya bapak Yesmil Anwar selalu
mengatakan bahwa hukum di Indonesia itu sekarang jika diibaratkan sebagai
seorang manusia, maka dia adalah manusia yang kehilangan jati dirinya, yang lupa
akan jati dirinya sendiri, menjadi terasing pada dirinya sendiri. Ia tidak
menyadari apa yang menjadi hakekat dan tujuan hidupnya, maka kurang lebih
seperti itulah hukum di Indonesia sekarang ini. Bagaimana bisa hukum itu
memberi rasa keadilan & bagaimana bisa hukum itu berjalan efektif jika
dalam proses pembuatan produk hukum itu sendiri, banyak sekali
kepentingan-kepentingan yang memboncenginya atau bahkan ada istilah UU pesanan.
Pemerintah daerah melegalkan tempat-tempat
prostitusi untuk menaikkan pendapatan daerah dimana secara tidak langsung
pendapatan asli daerah menjadi bertambah dan disisi lain sangat menguntungkan Pemda.
Seperti halnya tempat lokalisasi yang terdapat disetiap daerah wisata. Pemda
setempat tidak melarang para pelaku seks komersil untuk beraktifitas dan
menjalankan pekerjaannya sebagai pelacur ditempat tersebut. Bahkan diberikan
tempat khusus dan syarat-syarat tertentu untuk dapat masuk ke
area tersebut, sehingga tidak sembarang orang untuk dapat masuk ke tempat itu. Jadi kalau saja mencari kambing hitam atas merajalelanya
praktek prostitusi, maka siapa yang bisa disalahkan? Apakah Hukumnya, ataukah
aparat penegak hukumnya, atau memang masyaraktnya yang tidak sadar hukum.
Seperti
yang selalu dikemukakan oleh dosen saya bapak Yesmil Anwar yang menjelaskan
akan unsur-unsur yang mempengaruhi penegakan hukum, yang beliau kutip
dari soerjono soekanto, bahwa ada 5 (lima) unsur yang mempengaruhi jalannya
penegakan hukum, yaitu:
1. Undang-Undang.
2. Penegak Hukumnya,
3. Sarana –prasarana.
4. Masyarakat.
5. Sosial & budaya hukum.
Dalam hal ini, bagaimana peran pemerintah pusat dalam
menanggulangi dan menutup tempat lokalisasi disetiap daerah melihat sebagian
besar pendapatan daerah mengucur dari hasil tempat lokalisasi tersebut. Bukan berarti menyalahkan pemerintah, namun seakan-akan
pemerintah pusat pun melegalkan tindakan pelacuran itu,
seperti tutup mata dengan praktek prostitusi yang jelas-jelas semakin
merajalela.
B. Prostitusi ditinjau dari Sosiologi hukum
Secara nalar sangat sulit untuk dibayangkan ada orang yang
ingin hidup untuk menjadi seorang pelacur. Meski ada sebab-sebab lain yang
mendorong seseorang itu untuk melacur, namun perbuatannya itu sangatlah tidak
rasional. Kebanyakan alasan mereka para pelaku prostitusi hanya ingin mendapat
uang banyak dengan mudah dan dalam waktu yang singkat, ada juga karena dari
keluarga broken home, keluarga berada namun kurang kasih sayang dan yang paling
parah yaitu alasan karena hobi yang ia jalankan. Jadi tidak hanya kepuasaan
batin saja, melainkan kepuasaan lahir dan kenikmatan sementara yang ia dapatkan
dan rasakan.
Hal ini merupakan PR bagi bangsa kita untuk mencari
sebab-sebab yang merongrong seseorang itu untuk berbuat melacur. Sebab-sebab
terjadinya pelacuran haruslah dilihat dan dicermati dari faktor-faktor endogen
(dari dalam) dan eksogen (dari luar) serta banyak sekali alasan-alasan mengapa
wanita dan gadis-gadis bahkan janda-janda memasuki pekerjaan kotor dan hina
ini, akan tetapi alasan ekonomi dan psikologi lah yang paling menonjol dari
semua alasan yang ada.
Dalam suatu masyarakat ada perbuatan yang ditinjau dari sudut
pendirian perseorangan diperbolehkan benar-benar, sungguhpun dapat merugikan
persekutuan. Hak mogok pada satu bangsa merupakan hal wajar, namun hal tersebut
dapat dirasakan sebagai pelanggaran di bangsa yang lain karena dalam kewajiban
kerja hal tersebut merugikan persekutuan. Contoh tersebut menggambarkan bahwa
sosiologi tentang kesadaran hukum harus berhubungan rapat dengan teori tentang
kejahatan sebagai peristiwa sosial, untuk dapat menentukan pendapat terhadap
peristiwa kejahatan yang demikian peliknya itu sebagai kenyataan sosial.
Kewajiban ilmu jiwa social yaitu untuk memberikan penjelasan
tentang fungsi pengikat kecenderungan social. Keanehan kecenderungan social
yaitu perasaan yang egosentris lebih banyak tergantung dari rekan – rekan
social daripada yang dapat diduga semula. Sebagai contoh, rasa harga diri, yang tidak hanya dikenal oleh dorongan untuk
menjadi berharga, tetapi untuk menampakkan dirinya berharga didepan orang lain.
Para pelaku prostitusi telah hilang rasa harga dirinya. Mereka
hanya dapat dinilai dengan uang dan didepan orang lain tidak menunjukkan rasa
yang sekiranya tidak dapat dinilai dengan uang. Secara sosiologi, prostitusi
merupakan perbuatan amoral yang terdapat dalam masyarakat. Para pelakunya tidak
hanya dari kalangan remaja, anak dibawah umur melainkan dari kalangan ibu – ibu
rumah tanggapun ada. Hanya demi untuk mendapat sesuap nasi dan kesenangan
sesaat mereka telah mengorbankan kehormatan, harga diri, derajat dan
martabatnya didepan laki-laki hidung belang.
Kehidupan para pelaku prostitusi sangatlah primitive. Dilihat
dari segi sosiologinya, mereka dipandang rendah oleh masyarakat sekitar, di
cemooh, dihina, di usir dari tempat tinggalnya, dan lain – lain sebagainya.
Mereka seakan – akan sebagai makhluk yang tidak bermoral dan meresahkan warga
sekitar serta mencemarkan nama baik daerah tempat berasal mereka.
Dilihat dari aspek pendidikan,
prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi. Dari aspek kewanitaan,
prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita. Dari aspek ekonomi,
prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja. Dari aspek
kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk
menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya. Dari aspek
kamtibmas praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan kriminal Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat
menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan.
Permasalahan Prostitusi tidak ubahnya
sama dengan manusia pada umumnya, secara garis besar prostitusi tentunya juga
mempunyai suatu makna hidup. Sama halnya dengan manusia atau individu lainnya.
Proses penemuan makna hidup bukanlah merupakan suatu perjalanan yang mudah bagi
seorang PSK, perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan
dalam hidup mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama
ini, serta sikap yang bagaimana yang diberikan terhadap ketentuan atau nasib
yang bisa mereka rubah, yang kesemuanya itu tidak bisa lepas dari hal-hal apa
saja yang diinginkan selama menjalani kehidupan, serta kendala apa saja yang
dihadapi oleh mereka dalam mencapai makna hidup.
Salah satu faktor yang mempengaruhi sosiologi hukum adalah
bahwa perbedaan hukum dengan kebiasaan terletak pada unsur
kekuasaan resmi, yang dapat memaksakan berlakunya hukum tersebut. Selain
daripada itu, hingga kini ada kecenderungan kuat dalam peneterapan hukum, untuk
mempertahankan prinsip dan pola yang telah ada dalam sistem hukum. Dalam hal ini tidak dapat dikatakan bahwa sosiolologi nerada
diatas segala-galanya, karena apa yang telah dilakukan oleh para ahli sosiologi
untuk memahami hukum secara realistik tetap tidak dapat menutupi kegagalan
mereka untuk dapat menjelaskan ciri khas hukum. Yang patut dicatat bahwa
realitas hukum terletak dalam realitas sosial.
Dalam menguraiakan teori tentang masyarakat Durkheim menaruh
perhatian yang besar terhadap kaedah hukum yang dihubungkannya sebagai jenis
solidaritas dalam masyarakat, hukum dirumuskan sebagai kaedah yang bersanksi
dimana berat ringannya tergantung pada (1) sifat pelanggaran, (2) anggapan
serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya perilaku tertentu, (3) peranan
sanksi tersebut dalam masyarakat.
C. Upaya Pemerintah Dalam Memberantas Prostitusi
Prostitusi
bukan hanya perkara jual-beli jasa seks, tetapi juga perdagangan wanita yang
dijadikan budak seks. Dengan disahkannya Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Terhadap
Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), diharapkan penanganan terhadap
terjadinya perdagangan orang akan semakin membaik. Pemerintah telah berusaha dengan
berbagai cara untuk menangani dampak dari masalah yang ditimbulkan oleh bisnis
pelacuran tersebut khususnya perdagangan orang (trafficking), baik melalui
kegiatan-kegiatan penyuluhan, seminar, pelatihan-pelatihan kerja dan yang
terakhir adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
‘’Pemberantasan Perdagangan Orang’’ .
Bisnis
pelacuran semakin modern, bahkan jual-beli jasa seks kini juga hadir dalam
dunia maya, yang mana pelakunya sangat sulit untuk diselidiki keberadaannya
mengingat permainan yang dijalankan sangat rapi. Walaupun pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik, namun UU ITE ini tidak bisa menghalau bisnis seks melalui internet,
namun setidaknya kita telah punya aturan yang melarang hal tersebut, walaupun
dalam pelaksanaannya memang tidak seperti yang diharapkan.
Selain daripada itu terdapat sanksi yang tujuan utamanya
adalah pemulihan keadaan (seperti keadaan sebelum terjadinya pelanggaran
terhadap kaedah-kaedah yang mungkin menyebabkan kegoncangan dalam masyarakat.
Kaedah dengan sanksi semacam itu merupakan kaedah hukum restitutif dengan
pengurangan unsur pidana yang terdapat di dalamnya. Kaedah hukum tersebut
kemudian dikaitkan dengna bentuk solidaritas yang menjadi ciri masyarakat
tertentu, oleh karena itu jenis kaedah hukum merupakan akibat dari bentuk
solidaritas tertentu, antara lain:
1.
Solidaritas
mekanis yang terutama terdapat pada masyarakat sederhana yang relatif masih
homogin struktur sosial dan kebudayaannya. Dalam bentuk ini warga masyarakat
tergantung pada kelompoknya dan keutuhan masyarakatnya terjamin oleh hubungan
antar manusia karena adanya tujuan bersama.
2.
Solidaritas
organik yang ditandai antara lain adanya pembagian kerja dalam masyarakat yang
biasanya dijumpai pada masyarkat yang komleks dan heterogin struktur sosial dan
kebudayaannya. Dalam hal ini pengembalian kedudukan seseorang yang dirugikan
merupakan hal yang diprioritaskan.
Dalam
hal ini tujuan utama dari sosiologi hukum adalah untuk menyajikan
sebanyak mungkin kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku secara
efisien.
Dalam
suatu masyarakat terdapat sebuah gejala sosial yang ruang lingkup nya mencakup
antara lain:
A.
Struktur
sosial yang merupakan keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok
yaitu
a.
Kelompok
sosial
b.
Kebudayaan
c.
Lembaga
sosial
d.
Stratifikasi
e.
Kekuasaan
dan wewenang
B.
Proses
sosial yaitu pengaruh timbal balik antara pelbagai bidang kehidupan yang
mencakup:
a.
Interaksi
sosial,
b.
Perubahan
sosial,
c.
Masalah
sosial.
Perkembangan dari gejala sosial yang terdapat dalam
masyarakat berangkat dari sebuah hukum kebiasaan yang disebut dengan hukum
adat. Dalam apabila hukum adat diidentikkan dengan hukum kebiasaan maka
identifikasinya terutama dilakukan secara empiris atau dengan metode induktif.
Andaikata titik tolaknya adalah hukum ada yang tercatat maka pengujiannyapun
dilakukan secara empiris. Van Vollenhoven dan Ter Haar secara langsung maupun
tidak, mengakui hal tersebut. Pendeknya tentang teori hukum adat tersebut dapat
ditonjolkkan hal sebagai berikut:
1. Pengembangan ilmu hukum adat dan penelitian hukum adat
(baik yang normatif maupun empiris) membuka jalan bagi tumbuhnya atau
berkembangknya teori hukum yang bersifat sosiologi.
2. Studi hukum Adat merupakan suatu jembatan yang
menghubungkan pendekatan yuridis murni dengna pendekatan sosiologi murni.
Secara analogis adalah hubungan antara ilmu hukum pidana dengan kriminologi,
yaitu ilmu penitentier.
3. Hukum adat mengawali pendekatan kemampuan ke arah
interaksi sosial terutama hubungan hukum yang menjadi mengendalikan sosial dan
pembaharuan.
Dalam
hal ini peran dari sosiologi hukum adalah untuk memahami hukum dalam konteks
sosial, menganalisa terhadap efektifikasi hukum dalam masyarakat baik sebagai
sarana pengendalian sosial maupun sebagai sarana untuk merubah masyarakat, seperti yang sering bapak YesmiL Anwar sampaikan bahwa sosiologi hukum itu mempelajari hukum
dalam keefektifannya, atau Law in action dan mengadakan evaluasi terhadap efektifitas
hukum dalam masyarakat. Intinya,
mempelajari sosiologi hukum itu ada tiga hal penting, yaitu memahami hukum
dalam konteks sosial, menganalisis efektifitas hukum serta mengevaluasi
kekuatan pengaruh struktur sosial dan proses sosial dalam membentuk aturan
hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan alasan apapun
praktek pelacuran atau prostitusi tidak bisa dibenarkan, karena bertentangan
dengan Undang-Undang dan juga bertentangan dengarn norma dan kaidah yang ada
dalam masyarakat. Secara
moral dan keagamaan memperjual belikan organ tubuh kita sebagian ataupun
seluruhnya sudah merupakan hal yang dilarang. Desakan ekonomi atau sulitnya mencari pekerjaan bukanlah
alasan pembenar sehingga prostitusi dapat dimaklumi yang akhirnya seolah-olah
seperti dilegalkan. Apabila di lihat dari sudut pandang
sosiologi, bisnis prostitusi merupakan sebuah
bisnis yang terjadi karena suatu dorongan akan kebutuhan pokok dan kurangnya
kerapatan antara kesadaran hukum dengan teori tentang kejahatan sebagai
peristiwa sosial.
B. Saran
Penulis
menyarankan supaya pemerintah bisa lebih peka terhadap gejala sosial yang
terjadi di masyarakat, sehingga apabila terjadi sesuatu yang menyimpang, akan
cepat ditangani, tidak menunggu berlarut-larut, masalah sudah semakin
berkembang & membesar, lalu baru diatasi
setelah semuanya menjadi semakin kompleks. Perlunya aparat penegak hukum
yang berhati bersih yang memang tujuannya berjuang untuk menciptakan hukum yang
efektif diterapkan, bukan aparat penegak hukum yang mengharapkan upeti dari
orang-orang tertentu yang berkepentingan sehingga bisa mempengaruhi isi dari
produk hukum yang dibuat. Sudah saatnya SDM (sumber daya manusia) para aparat
penegak hukum ditingkatkan, agar kualitas produk hukum yang dibuat pun bisa
lebih efektif dan menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat.